Rabu, 18 November 2009

IBD

SONGKET PALEMBANG

Songket tradisional adalah salah satu bagian dari hasil budaya masyarakat Palembang. Menurut catatan sejarah kesultanan Palembang, kepandaian bertenun songket selalu diwariskan secara turun temurun melalui pembelajaran informal. Pada tahun 1980-an sebahagian besar masyarakat Palembang memiliki keahlian bertenun. Bila diamati dari segi bentuk, kain songket membawa pengaruh akulturasi dari budaya Kong Hu Chu dan India. Hal ini dapat terlihat dari gaya ragam hias dan warna yang ditampilkan pada struktur benang lungsi dan pakan.

Kota Palembang memiliki sejarah yang panjang, mulai dari kejayaan kerajaan Sriwijaya sampai Kesultanan Palembang Darussalam. Kerajaan Sriwijaya pada masa kejayaannya sekitar tahun 683 Masehi menjadi cikal bakal kota yang terletak di tepian sungai Musi ini. Banyak peninggalan tak ternilai berasal dari kerajaan terkenal itu, salah satunya adalah budaya wastra (kain) yang indah yaitu songket.

Gemerlap dan kilauan emas yang terpancar pada kain tenun ini, memberikan nilai tersendiri. Rangkaian benang yang tersusun dan teranyam lewat pola simetris membuat kain ini dibuat dengan keterampilan masyarakat yang memahami berbagai cara untuk membuat kain bermutu, serta yang sekaligus mampu menghias kain dengan beragam desain.

Songket tradisional ini dibuat dengan ketrampilan masyarakat yang memahami berbagai cara untuk membuat kain bermutu, serta yang sekaligus mampu menghias kain dengan beragam desain. Kemampuan ini biasanya diwariskan secara turun-temurun.

Sewet Songket atau kain Songket adalah kain yang biasanya dipakai atau dikenakan sebagai pembalut bagian bawah pakaian wanita. Biasanya sewet ini berteman dengan kemban atau selendang.
Bahan sewet songket ini ditenun secara teliti dengan mengunakan bahan benang sutera. Ciri khas songket Palembang terletak pada kehalusan dan keanggunannya sangat menonjol serta motifnya tidak sama dengan motif kain songket daerah lain
Oleh karena itu sewet songket ini dibuat dengan bahan halus dan seni yang tinggi maka harganya cukup mahal. Biasanya dipakai pada waktu tertentu pada saat perayaan perkawinan.
Pakaian songke lengkap yang dikenakan oleh pengaten, biasanya dengan Aesan Gede (kebesaran) Aesan Pengganggon (Paksangko) Aesan. Selendang Mantri Aesan Gandek (Gandik) dan sebagainya.

Sehelai kain tenun songket dari Palembang, mempunyai banyak makna, dan mempunyai nilai sejarah. Kain ini mungkin sebagai peninggalan nenek moyang si pemilik yang ditenun selama satu tahun, mungkin sebagai mahar, mungkin sebagai busana kebesaran adat pengantin , mungkin sebagai benda koleksi keluarga yang berharga, dan masih banyak lagi kemungkinan yang lain.

Kain tenun songket Palembang ini, sangat menarik, ditelusuri sejarahnya, maknanya, dan teknik pembuatannya. Kalau kita menilik warnanya yang khas, dan motif hiasnya yang indah, pastilah kita berkesimpulan bahwa songket ini dibuat dengan keterampilan, ketelatenan, kesabaran,dan daya kreasi yang tinggi.

Seperti seni tenun daerah lainnya di nusantara kita, kain songket Palembang ini tidak diketahui persis kapan mulai dikerjakan. Untuk keperluan busana, mula-mula digunakan sebagai bahan dasar kulit kayu, kemudian rajutan daun-daun, dan yang terakhir ditanam kapas untuk dibuat benang sebagai bahan dasar kain tenun.

Palembang yang terletak di pulau Sumatra bagian Selatan ini dahulu menjadi pusat kerajaan Sriwijaya yang menjadi pintu masuk berbagai budaya dari manca negara. Mula-mula datang bangsa Portugis, kemudian bangsa India yang terakhir bangsa Cina. Pada abad ketujuh sampai abad kesebelas Masehi kerajaan Sriwijaya sedang jaya – jayanya dengan pelabuhannya yang ramai. Kecuali menjadi pusat perdagangan, Sriwijaya juga menjadi pusat agama Budha. Pusat kerajaan Sriwijaya, sekarang kota Palembang, merupakan tempat persinggahan pendeta dari Srilangka dan India yang akan pergi ke Cina. Itulah sebabnya budaya India ikut mempengaruhi motif hias kain songket Palembang.

Disamping itu pengaruh dari Cina juga melekat pada seni tenun Palembang terutama pada penerapan warna merah dan warna keemasan pada kain songket.

Karena adanya pengaruh budaya dari luar tadi terciptalah kain tenun dari Sriwijaya yang sangat indah dan bervariasi. Dengan demikian kain songket ini termasuk hasil budaya daerah yang harus dilestarikan.

asal-usul makanan khas palembang

Menurut sejarahnya, pempek telah ada di Palembang sejak masuknya perantau Cina ke Palembang, yaitu di sekitar abad ke-16, saat Sultan Mahmud Badarudin II berkuasa di Kerajaan Sriwijaya. Nama empek-empek atau pempek diyakini berasal dari sebutan “apek”, yaitu sebutan untuk lelaki tua keturunan Cina.

Berdasar cerita rakyat, yang dimuat kompas, sekitar tahun 1617 seorang “apek” berusia 65 tahun yang tinggal di daerah Perakitan (tepian Sungai Musi) merasa prihatin menyaksikan tangkapan ikan yang berlimpah di Sungai Musi. Hasil tangkapan itu belum seluruhnya dimanfaatkan dengan baik, hanya sebatas digoreng dan dipindang.

Si Apek kemudian mencoba alternatif pengolahan lain. Ia mencampur daging ikan giling dengan tepung tapioka, sehingga dihasilkan makanan baru. Makanan baru tersebut dijajakan oleh para apek dengan bersepeda keliling kota. Oleh karena penjualnya dipanggil dengan sebutan “pek … apek”, maka makanan tersebut akhirnya dikenal sebagai empek-empek atau pempek.

Pempek sendiri memiliki banyak jenis. Dengan bahan dasar yang hampir sama, di kota asalnya di kenal berbagai jenis pempek yang dihidangkan dengan cuka Dintaranya pempek jenis polos yang terdiri dari : pempek lenjer yang berbentuk panjang,pempek keriting, pempek kulit dan Pempek Adaan yang berbentuk bulat. Selain itu terdapat pempek isi, yakni : pempek telor yang berukuran kecil, pempek kapal selam berukuran besar, pempek pistel, dan pempek tahu. Ada juga pempek yang dipanggang, seperti pempek panggang itu sendiri, otak-otak dan lenggang.

Selain Pempek, Palembang memiliki makanan khas lainnya yang berbahan dasar ikan, seperti model, tekwan, serta Kerupuk Palembang yang dikenal dengan sebutan kemplang yang terdiri dari kemplang goreng, panggang dan kerupuk. Dan beberapa daerah lainya di Sumatera Selatan, seperti Ogan Ilir dan Ogan Komering Ilir yang terkenal dengan ikan asin dan ikan salainya, dan didaerah lainnya dikenal juga masakan Pindang.

Kesenian Palembang

TARI TANGGAI

Tari tanggai biasanya di pakai untuk menyambut tamu pada acara pernikahan atau acara-acara resmi. Tarian ini umumnya di bawakan oleh lima orang dengan memakai pakaian khas daerah Palembang seperti kalung,kain songket,sanggul,rampai,tajuk cempako,kuku yang terbuat dari lempengan baja,pending, dodot, dll.

TARI GENDING SRIWIJAYA

Tari ini ditampilkan secara khusus untuk menyambut tamu-tamu agung seperti kepala negara, duta besar dan tamu-tamu agung lainnya. Penari gending sriwijaya dibawakan oleh 13 orang yang terdiri dari

satu orang penari utama pembawa tepak (tepak,kapur,sirih)

dua orang penari pembawa peridon(perlengkapan tepak)

enam orang penari pendamping(tiga di kanan dan tiga dikiri)

satu orang pembawa payung kebesaran(di bawa oleh pria),

satu orang penyanyi Gending Sriwijaya dan dua orang pembawa tombak( pria).

TARIAN TENUN SONGKET

Tarian ini menggambarkan kegiatan remaja putri khususnya dan para ibu rumah tangga di Palembang pada umumnya memanfaatkan waktu luang dengan menenun songket.

TARI RODAT CEMPAKO

Tari ini merupakan tari rakyat bernafaskan islam. Gerak dasar tari ini di ambil dari negara asalnya Timur Tengah, seperti hal nya dengan Tari Dana Japin dan Tari Rodat Cempako sangat dinamis dan lincah.

TARI MEJENG BESUKO

Tari ini melukiskan kesukariaan para remaja dalam suatu pertemuan mereka. Mereka bersenda gurau mengajuk hati lawan jenisnya. Bahkan tidak jarang diantara mereka ada yang jatuh hati dan menemukan jodohnya melalui pertemuan seperti ini.

DUK MULUK

Adalah salah satu kesenian tradisional yang ada di SUMSEL khusus nya kota Palembang. Biasanya di pentaskan pada acara yang bersifat menghibur seperti pada acara pernikahan dll.

JIDUR

Merupakan salah satu musik tradisional palembang yang menggunakan alat seperti terompet, tombon,dan drum yang mempunyai suara khas.

REBANA

Merupakan musik tradisional yang menggunakan alat kulit kambing yang di ikat kan di kayu, biasanya pemain terdiri dari 10-12 orang. Rebana ini juga biasanya dipakai untuk arakan pengantin dll.

WAYANG PALEMBANG

Wayang palembang memiliki bentuk fisik dan sumber cerita yang sama dengan wayang purwa dari Jawa. Bedanya, wayang Palembang dimainkan dengan menggunakan bahasa Melayu Palembang, dan perilaku tokoh-tokohnya lebih bebas.

Sejarah Palembang

Kota palembang adalah salah satu kota besar di Indonesia sekaligus merupakan ibu kota dari provinsi Sumatera Selatan. kota palembang adalah kota terbesar kedua Sumatera setelah Medan. kota ini dulu pernah menjadi pusat kerajaan Sriwijaya. salah satu peninggalan nya seperti Bukit Siguntang yang terletak di Palembang Barat hingga saat ini masih di keramat kan oleh masyarakat Palembang.

kota ini memiliki komunitas Tionghoa yang besar. makanan seperti empek-empek dan tekwan yang terbuat dari ikan mengesankan ” chinese taste” yang sangat kental dengan masyarakat palembang.

Palembang merupakan kota tertua di Indonesia, hal ini di dasarkan pada prasasti Kedukan Bukit yang di ketmukan di Bukit Siguntang, sebelah barat kota Palembang.

kota palembang juga di percayai oleh masyarakat Melayu sebagai tanah leluhurnya. karena menurut sejarah bahwa di kota palembang inilah tempat turunnya cikal bakal raja Melayu pertama yaitu Parameswara yang turun dari Bukit Siguntang.

mayoritas masyarakat Palembang menganut agama islam, selain itu pula terdapat juga masyarakat yang menganut agama Protestan,Budha,Hindu,Konghucu dan katholik.

Kota Palembang termasuk kota yang memiliki kesenian atau kebudayaan yang unik seperti :

1.Kesenian Dul Muluk (pentas drama tradisional khas Palembang)

2.Tari-tarian seperti Gending Sriwijaya yang diadakan sebagai penyambutan kepada tamu-tamu, dan tari Tanggai yang diperagakan dalam resepsi pernikahan

3.Lagu Daerah seperti Dek Sangke, Cuk Mak Ilang, Dirut, dan Ribang Kemambang

4.Rumah Adat Palembang adalah Rumah Limas dan Rumah Rakit

Kamis, 12 November 2009

IBD

Ilmu Budaya Dasar

Tugas ISBD

1.1 Latar Belakang
Kehidupan sekarang ini penuh dengan permasalahan-permasalahan sosial yang kiranya selalu muncul setiap saat. Permasalahan sosial yang sering kali mencuat ke permukaan masyarakat adalah kesenjangan sosial. Masalah ini bisa dikatakan menjadi masalah yang telah mendarah daging terutama dikalangan bangsa Indonesia dan secara khusus masyarakat perkotaan.
Kesenjangan sosial awalnya terbentuk karena adanya perbedaan. Contohnya perbedaan tingkat pendidikan, perbedaan tingkat pendapatan, pola pikirdan lain sebagainya.

PENGARUH KEBUDAYAAN INDONESIA TERHADAP KEBUDAYAAN ASING

PENGARUH KEBUDAYAAN INDONESIA TERHADAP KEBUDAYAAN ASING

PENGARUH BUDAYA BARAT DAN TIMUR TERHADAP KEBUDAYAAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

urbanisasi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Latar belakang pembuatan makalah yang berjudul masyarakat perkotaan dan pedesaan ini adalah ditunjang oleh banyaknya persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat khususnya yang terjadi dalam masyarakat perkotaan.
Apabila kita berbicara tentang masyarakat, terutama jika mengemukakannya dari sudut antropologi, maka kita mempunyai kecenderungan untuk melihat 2 tipe masyarakat, yaitu masyarakat perkotaandan pedesaan.

Suku Batak

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari
Suku Batak
Rumah Batak Taman Mini Indonesia Indah

Jumlah populasi

k.l 4.000.000 jiwa.

Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan
Sumatra Utara: 3.285.600 jiwa.
Bahasa
Batak: Toba, bahasa Mandailing-Angkola, bahasa Karo, dan bahasa Simalungun, bahasa Pakpak-Dairi, dan bahasa Nias.
Agama
Kristen, Islam, dan Parmalim.
Kelompok etnis terdekat
suku Gayo, suku Alas

Batak adalah nama sukubangsa di Indonesia. Suku ini bermukim di Sumatra Utara. Suku Batak ini berdiaspora ke berbagai penjuru Indonesia. Diperkirakan di wilayah Jabodetabek saja sudah mencapai lebih dari 1.000.000 jiwa. Sudah lebih banyak orang Batak yang bermukim di luar daerah asalnya yakni Tapanuli, Simalungun, dan Karo. Sebagian bermukim di Medan dan sekitarnya, sehingga secara nasional orang Batak sering disebut sebagai orang Medan.

Mayoritas orang Batak beragama Kristen dan sebagian lagi beragama Islam. Tetapi dan ada pula yang menganut agama Malim (pengikutnya biasa disebut dengan Parmalim ) dan juga penganut kepercayaan animisme (disebut Pelebegu atau Parbegu), walaupun kin jumlah penganut Parmalim dan Pelebegu ini sudah semakin berkurang.

Sub-suku

Suku Batak terdiri dari beberapa sub-suku yang berdiam di wilayah Sumatera Utara yakni sebagian besar di Tapanuli, Simalungun, Karo, serta Nias dan Fakfak-Dairi -- kedua wilayah terakhir ini termasuk wilayah Tapanuli. Sub-suku Batak terdiri dari Toba yang bermukim di wilayah Toba yakni Toba, Silindung, Samosir, dan Humbang; Angkola yang bermukim di wilayah Tapanuli Selatan, Sipirok dan Angkola; Mandailing yang bermukim di Mandailing Natal; Simalungun di daerah Simalungun; Karo di daerah Karo; Fakfak Dairi bermukim di daerah Fakfak dan Dairi. Bahkan dalam pelajaran antropologi yang diajarkan di sekolah-sekolah bahwa Nias, Alas dan Gayo dikelompokkan dalam sub Suku Batak. Dalam dua dasawarsa terakhir ini terbentuk pula sub-suku Batak lainnya, yakni Batak Pesisir. Ir. Akbar Tanjung, mantan Ketua DPR-RI, pertama kali menjadi ketua Persatuan Batak Pesisir ini. Sub-suku Batak Peisisir ini bermukim (tersebar) di daerah-daerah pesisir pantai Timur Sumatera yakni Asahan, Labuhan Batu dan Rantau Prapat, juga pantai Barat Sumatera yakni Sibolga dan Barus di Tapanuli Tengah.

Pengelompokan sub suku Batak dilakukan berdasarkan wilayah pemukimannya, darpada karena garis keturunan.

Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan wilayah pemukiman (teritorial).

Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua sub suku Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan wilayah pemukiman (teritorial) terlihat dari terbentuknya, tersepakatinya suatu tradisi adat-istiadat di setiap wilayah. Bagi orang Batak yang bermukim di wilayah Mandailing, misalnya, terbentuk suatu tradisi adat-istiadatyang memiliki corak tersendiri dibandingkan dengan adat-istiadat suku Batak yang bermukim di Toba, walaupun marga-marga yang bermukim di Mandailing dan Toba banyak yang sama, seperti marga Siregar, Lubis, Hasibuan dan Batubara.

Untuk menggambarkan betapa kedua bentuk kekerabatan ini memiliki daya rekat yang sama, ada perumpamaan dalam bahasa Batak Toba berbunyi demikian: Jonok dongan pertubu jonokan do dengan parhundul. Artinya, semua orang mengakui bahwa hubungan garis keturunan adalah sudah pasti dekat, tetapi dalam sistem kekerabatan Batak lebih dekat lagi hubungan karena bermukim di satu wilayah.

Jadi pembagian sub-suku Batak lebih ditentukan oleh wilayah pemukiman atau Bius daripada garis keturunan silsilah.


Rumah Adat Batak Toba

[sunting] Falsafah dan Sistem Kemasyarakatan

Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatan (kekerabatan)nya yakni Tungku nan Tiga atau dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu, yakni Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru ditambah Sihal-sihal.

Hulahula adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak). Sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).

Dongan Tubu disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya terkadang saling gesek. Namun pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.

Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun burfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.

Falsafah dan Sistem Kemasyarakatan

Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatan (kekerabatan)nya yakni Tungku nan Tiga atau dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu, yakni Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru ditambah Sihal-sihal.

Hulahula adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak). Sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).

Dongan Tubu disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya terkadang saling gesek. Namun pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.

Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun burfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.

Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifak kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.

Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raji no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.

Kepercayaan

Orang Batak telah menganut agama Kristen Protestan yang disiarkan oleh misionaris Jerman, Nomensen pada tahun 1863. Gereja yang pertama berdiri adalah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di huta Dame, Tarutung. Saat ini gereja HKBP telah tersebar di seluruh Indonesia. Sebelum suku Batak menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.

Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu:

  • Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
  • Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
  • Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.

Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka. Ada juga kepercayaan yang ada di Tarutung tentang ular (ulok) dengan boru Hutabarat bahwa boru Hutabarat tidak boleh dikatakan cantik di Tarutung. Apabila dikatakan cantik maka nyawa wanita tersebut tidak akan lama lagi, menurut kepercayaan orang itu.

[sunting] Tarombo

Falsafah

Secara umum, suku Batak memiliki falsafah adat Dalihan Natolu yakni Somba Marhulahula (hormat pada pihak keluarga ibu/istri), Elek Marboru (ramah pada keluarga saudara perempuan) dan Manat Mardongan Tubu (kompak dalam hubungan semarga). Dalam kehidupan sehari-hari, falsafah ini dipegang teguh dan hingga kini menjadi landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan orang Batak.

[sunting] Sejarah

Sejarah Batak modern dipengaruhi oleh dua agama Samawi yakni Islam dan Kristen. Islam makin kuat pengaruhnya pada saat Perang Padri, melalui aktivitas dakwah yang dilakukan para da'i dari Minangkabau. Perluasan dan penyebaran agama Islam hingga memasuki daerah Tapanuli Utara dibawah pimpinan Tuanku Rao, namun tidak berhasil. Islam hanya berkembang di kalangan Mandailing dan sebagian Angkola.

Agama Kristen baru berpengaruh di kalangan Angkola dan Batak setelah beberapa kali misi Kristen yang dikirimkan mengalami kegagalan. Misionaris yang paling berhasil adalah I.L. Nommensen yang melanjutkan tugas pendahulunya menyebarkan agama Kristen di wilayah Tapanuli. Ketika itu, masyarakat Batak yang berada di sekitar Tapanuli, khususnya Tarutung, diberi pengajaran baca tulis, keahlian bertukang untuk kaum pria dan keahlian menjahit serta urusan rumah tangga bagi kaum ibu. Pelatihan dan pengajaran ini kemudian berkembang hingga akhirnya berdiri sekolah dasar dan sekolah keahlian di beberapa wilayah di Tapanuli. Nommensen dan penyebar agama lainnya juga berperan besar dalam pembangunan dua rumah sakit yang ada saat ini, RS Umum Tarutung dan RS HKBP Balige, yang sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.

Sementara itu, perkembangan pendidikan formal juga terus berlanjut hingga dibukanya sebuah perguruan tinggi bernama Universitas HKBP I.L. Nommensen (UHN) tahun 1954. Universitas ini menjadi universitas swasta pertama yang ada di Sumatra Utara dan awalnya hanya terdiri dari Fakultas Ekonomi dan Fakultas Theologia.

[sunting] Kontroversi

ng] Kontroversi

Manusia Sebagai Makhluk Budaya

1.Budaya atau Kebudayaan
perbedaan mendasar antara manusia dengan makhluk yang lain (hewan) ialah bahwa manusai adalah makhluk berbudaya, hal ini disebabkan karena manusia diberi anugrah yang sangat berharga oleh Tuhan, yaitu budi atau pikiran.dengan kemampuan budi atau akal itulah manusia dapat menciptakan kebudayaanyang menyebabkan kehidupannya sangat jauh berbeda dengan kehidupan hewan. Oleh karena, itu manusia sering disebut makhluk sosialbudaya, artinya makhlukyang harus hidup bersama dengan manusia lain dalam satu kesatuan yang disebut dengan masyarakat.disamping itu, manusia adalah makhluk yang menciptakan kebudayaan dengan berbudaya itulah manusia berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya.
Manusia tidak dapat dilepas dari kebudayaan, dimana ada manusia disitu ada kebudayaan.kapankah kebudayaan mulai ada dimuka bumi?bersamaan dengan mulai adanya umat manusia dimuka bumi ini.Prof.Dr.Koentjaraningrat mencantumkan tujuh macam perbedaan antara manisai dengan hewan apabila ditinjau dari perilakunya, yaitu:
1) Sebagian besar dari perilaku manusia dikuasai oleh akal;
2) Kehidupan manusia dimuka bumi ini hanya dimungkinkan dengan suatu sistam peralatan luas yang merupakan hasil akalnya;
3) Sebagian besar perilaku manusia harus dibiasakan dengan belajar;
4) Manusia mempunyai bahasa yang menyimpan seluruh tata kelakuannya didalam lambang-lambang vokal maupun tertulis;
5) Pengetahuan manusia bersifat akumulatif;
6) Sistem pembagian karja didalam manusia jauh lebih kompleks daripada dengan kelompok kawanan binatang;
7) Masyarakat menunjukkan suatu aneka warna yang besar;