Rabu, 23 Februari 2011

DEMOKRATISASI

PENGALAMAN-PENGALAMAN DEMOKRATISASI DI NEGARA-NEGARA LAIN

Salah satu kesimpulan penting kajian-kajian mengenai demokratisasi mengatakan peran para pemimpin atau elit nasional sangat besar dalam proses-proses transisi dari rejim otoriter. Kesimpulan ini cukup tegas diungkapkan para peneliti transisi ke demokrasi sejak tahun 1970-an. Guillermo O’Donnel dan Philippe Schmitter, misalnya, dalam Transitions from Authoritarian Rule. Tentative Conclusions about Uncertain Democracies (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986: 19, 48) menegaskan bahwa "elite dispositions, calculations and pacts … largely determine whether or not an opening will occur at all." Ini tampak dari istilah-istilah yang digunakan, seperti "pakta elit" atau kesepakatan yang dicapai elit yang bersaing satu sama lain, "transaksi" atau kesepakatan antara pemimpin yang berasal dari rejim lama yang membelot dan memihak demokratisasi.
Kesimpulan lainnya dari kajian-kajian demokratisasi ialah yang menyangkut peran "masyarakat sipil". Masyarakat sipil dipandang sebagai inti kekuatan yang mendorong timbulnya liberalisasi atau keterbukaan dalam berbagai segi kehidupan politik rejim yang otoriter. Seperti disebutkan Schmitter, agar sebuah tantangan yang efektif dan terus menerus terhadap pemerintah otoritarian dapat memuncak, dan agar demokrasi politik dapat tampil sebagai mode alternatif dominasi politik, suatu negara harus memiliki suatu masyarakat sipil dalam mana identitas-identitas komunitas dan kelompok tertentu harus eksis bebas dari negara dan dalam mana tipe-tipe unit-unit swa-diri tertentu mampu bertindak otonom dalam mempertahankan kepentingan-kepentingan dan cita-cita mereka. Lebih lagi, identitas-identitas dan kepentingan-kepentingan ini bukan saja harus merata di seluruh negara, tetapi harus juga bisa dipusatkan bilamana diperlukan, yaitu harus bisa diorganisir guna tindakan kolektif yang terarah (G. O’Donnel, P.C. Schmitter, L. Whitehead, eds., Transisi Menuju Demokrasi. Kasus Eropa Selatan. Jakarta: LP3ES, 1992:5).
Penekanan pada peran elit dan masyarakat sipil dalam demokratisasi disertai dengan kurangnya perhatian pada peran yang mungkin dimainkan aktor atau kekuatan eksternal. Yang ditakankan adalah peran yang dimainkan kekuatan-kekuatan nasional-domestik.

Transisi dari pemerintahan otoriter dan prospek bagi demokrasi politik dianggap terutama ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dan pertimbangan –pertimbangan nasional. Aktor-aktor eksternal, kata Schmitter, hanya memainkan peran pinggiran dan tidaklangsung, kecuali jika aktor eksternal tersebut hadir secara fisik sebagai suatu kekuatan pendudukan asing. Ini dimainkan oleh pendudukan militer Sekutu di Itali selepas Perang Dunia II, ketika Italia keluar dari cengkeraman fasisme.

Dalam masa yang belakangan, mulai bermunculan penelitian yang lebih serius mengenai peran aktor dan proses eksternal dalam demokratisasi. Peran sistem dunia dan sistem regional mulai mendapat perhatian, seperti tampak dari berbagai gagasan mengenai "efek demonstrasi" atau "bola salju" atau "internasionalisasi demokratisasi." Begitu pula, peran yang dimainkan aktor-aktor luar seperti organisasi internasional bukan-pemerintah (seperti organisasi hak asasi manusia), lembaga finansial internasional (IMF), atau organisasi politik internasional (PBB) mulai mendapat sorotan.


Salah satu persoalan pakta dan transaksi adalah penerapan kesepakatan. Ini mencakup persoalan-persoalan seperti bagaimana mempertahankan kesepakatan sehingga kesepakatan tersebut memiliki daya tahan, yang pada gilirannya akan melanggengkan lembaga-lembaga demokratis yang ditetapkan dalam kesepakatan tersebut. Juga terkait di sini soal ketersediaan sanksi terhadap unsur-unsur yang secara sepihak melanggar kesepakatan. Pengalaman El Salvador di Amerika Latin dan Kamboja di Asia Tenggara adalah sebagian ilustrasi yang dapat dikemukakan mengenai persoalan pelik di balik implementasi pakta.

Salah satu persoalan menyangkut sumbangan masyarakat sipil terhadap demokratisasi ialah adanya kecenderungan yang menunjukkan organisasi-organisasi masyarakat sipil tidak selalu menganut keyakinan, norma dan prosedur demokratis. Kelompok-kelompok prodemokrasi dalam masyarakat sipil memainkan peran penting membuka kesempatan warganegara berperanserta dalam proses reformasi politik dan demokratisasi. Kendati demikian, secara internal organisasi-organisasi masyarakat sipil tersebut tidak demokratis. Penelitian Kevin F.F. Quigley di Thailand ("Towards Consolidating Democracy: The Paradoxical Role of Democracy Groups in Thailand," Democratization 3(3)1996: 264-286) selaras dengan kesimpulan ini.

Sehubungan dengan peran aktor eksternal, salah satu badan dunia yang sering dikecam adalah IMF (International Monetary Fund). Lembaga ini dikritik tidak demokratis, mencampuri kedaulatan negara, dan merupakan alat negara-negara kuat memeras negara-negara miskin. Program-program bantuan IMF dipandang berbahaya secara politik, sosial, dan ekonomi mengingat beratnya syarat-syarat yang didesakkan terhadap negara yang akan menerima bantuan. Akibatnya, timbul protes dan kerusuhan ("IMF riots") yang pada gilirannya menimbulkan ketidakstabilan politik dan pemerintahan. Penelitian Juha Y. Auvinen, "IMF intervention and political protest in the Third World: a conventional wisdom refined" (Third World Quarterly 17(3)1996:377-400) menyimpulkan intervensi IMF yang bersyarat berat tidak terkait dengan protes politik. Malahan, dana IMF dapat menyelesaikan masalah ekonomi dan mendorong terciptanya stabilitas politik. Temuan semacam ini, seperti tampak pada kasus-kasus di Asia Tenggara dan Timur yang dilanda krisis moneter dan ekonomi, belum dapat memupus kesan negatif mengenai peran IMF.

Uraian-uraian mengenai "pakta," "transaksi," mengisyaratkan adanya fungsi penting dalam masa transisi, yaitu mencari dan menciptakan titik-titik koordinasi pada masa transisi. Koordinasi ini diperlukan dalam rangka mengatasi masalah ketidakpastian dalam situasi transisi. Apabila tatanan politik dan ekonomi yang lama mengalami kerusakan sementara yang baru belum terbentuk, ketidakpastian politik akan sangat tinggi sehingga usaha-usaha mencari titik temu menjadi keharusan. Selain itu, usaha mencari dan menciptakan koordinasi juga penting mengingat ketidaksepakatan dan perbedaan pendapat yang tajam di bidang reformasi politik dan ekonomi.

Akhirnya, salah satu tema penting dalam literatur demokratisasi adalah argumen yang mengatakan "like produces like." Maksudnya, rejim otoriter akan melanggengkan budaya politik otoriter; dan dan lembaga-lembaga yang otoriter akan menghasilkan sikap-sikap yang otoriter. Di lain pihak, lembaga-lembaga demokratis akan menghasilkan sikap-sikap yang demokratis. Gagasan ini menganggap ada hubungan antara struktur politik dan sikap maupun keyakinan politik (Nancy Bermeo, Democracy and theLessons of Dictatorship, Comparative Politics 24(3)1992: 273-291). Jika argumen ini mengandung kebenaran, maka pendidikan demokrasi di masyarakat transisi pasca-otoritarianisme dihadapkan kepada tantangan bagaimana menangani warisan-warisan otoritarianisme di bidang sikap, keyakinan, dan kelembagaan. Tantangan lainnya, yang lebih menarik, ialah meneliti kesempatan-kesempatan belajar politik demokratis pada masa otoritarianisme. Gerakan reformasi mahasiswa menunjukkan dalam struktur politik yang otoriter tetap berlangsung proses belajar politik demokrasi – mudah-mudahan demikian.



Sumber: http://www.csps-ugm.or.id/artikel/Ndisrp.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar